Malam itu adalah malam yang begitu gelap bagi keluarga John Smith, terlebih-lebih bagi John sendiri. Ayahnya yang begitu menyayanginya harus pulang ke rumah Bapa.
Tetesan air mata John mengalir lebih deras daripada hujan rintik-rintik yang membasahi tanah pemakaman Westwood. Ini adalah malam terkelam sepanjang hidupnya.
Sekilas ia menutup matanya yang bengkak karena terlalu banyak mengeluarkan tangisan, lalu sebuah gulungan rol film pembicaraan sang ayah dan John kecil yang baru berumur 8 tahun, terputar di rekaman memorinya.
Ia teringat akan suatu hari di rumahnya di Westwood yang begitu sederhana, dimana matahari tersenyum lebar menghangatkan tanah keluarga Smith.
“Johnny”, panggil ayahnya sembari membuka pintu rumah. “Hehe, ada apa yah? Aku lagi main sepeda. Bagus ya yah? Tuh lihat aku bisa lho cuma pake 1 tangan.” Ayahnyapun tersenyum bangga. “Bagus nak. Pintar yah kamu mainnya.” Lalu dengan semangat, Johnny berputar-putar dengan sepedanya semakin cepat. Ayahnya dengan sabar menonton atraksi-atraksi Johnny mungil. Sambil berlari kecil ayahnya pura-pura mengejarnya dengan susah payah, sampai akhirnya ia menangkap, memeluk dan menggendong Johnny. “Sekarang kamu sudah ayah tangkap! Hehehe. Ayo mau kemana lagi kamu?!” Johnny kecil yang begitu manja ini puas tertawa, lalu ia memberikan ayahnya aba-aba, “Yah, aku mau bisikin sesuatu, sini deh.” Ayahnya pun mendekatkan telinganya ke dekat mulut Johnny.
Pelan-pelan Johnny menyampaikan isi hatinya ke telinga ayahnya, “Yah, Johnny mau naik mobil juga seperti ayah. Beliin Johnny mobil, yah.” Ayahnyapun menatap mata Johnny yang begitu polos. Dengan lembut ia berkata, ”Nak, sepedamu bagus kan?”. Johnny mengangguk. “Maukah kamu memberikannya kepada temanmu yang tidak mampu membelinya?” Sebelum Johnny menjawab, ayahnya melanjutkan: “Mobil ayah juga bagus, nanti kalau kamu sudah besar, ayah janji akan mengajari kamu membawa mobil. Dan kalau kamu sudah pintar, ayah akan memberikannya buat kamu.”
Johnny terdiam sebentar, tak lama kemudian ia pun tersenyum lebar seperti seorang peneliti yang baru saja mendapatkan ide brillian. “Ayah, sepedanya Johnny kasih Andrew aja ya, dia sangat rindu punya sepeda, lagian ayahnya ngga mampu beliin dia sepeda.” “Lho kenapa?” kata ayahnya terkejut, “bukankah kamu begitu menyukai sepeda ini?” “Iya yah aku suka, tapi kan aku bakal dapet mobil. Terus ayah juga janji mau ngajarin aku.” Semakin erat, ayahnya memeluk Johnny kecil. Lalu ia melepaskan pelukannya, memegang kedua bahu Johnny sambil menatap wajahnya dengan senyuman bangga.
Senyuman bangga itu kini ada di dalam peti mati, ia tersenyum pada anak kesayangannya yang begitu terpukul karena kematiannya. Namun, ajaran ayahnya tak akan pernah hilang di hati John. Ayahnya memang bukan seorang terpandang. Ia bukan seorang pilot atau insinyur ataupun dokter yang handal. Ayah John hanyalah seorang petani sederhana yang memberikan hidupnya untuk menemani dan mengajar John.
Peti mati itu boleh terkubur dalam-dalam. Namun, kenangan John tak akan pernah terkubur bagi dia yang memberikan hidupnya untuk John.
“Kenangan.” Bukankah itu sebuah kata yang hanya mungkin diucapkan oleh orang-orang melankolis dengan kelebayan tingkat tinggi yang menghabiskan waktunya di tengah malam untuk menulis, sambil menunggu siaran langsung pertandingan sepak bola antara Jerman vs Brasil, karena dia fans berat Jerman?
Hehehe.
“No!”, jawab si melankolis bla-bla-bla .... tengah malam sambil menunggu .... bla-bla-bla fans berat Jerman, membela diri ;p
Di momen-momen akhir Tuhan Yesus ketika di muka bumi ini, Dia menyampaikan kerinduan hati-Nya kepada orang-orang terdekat-Nya. Kerinduan hati-Nya yang adalah kerinduan-Nya bagaimana Ia ingin dikenang.
Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: “Inilah tubuhku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.”
Bagaimana Tuhan Yesus ingin diingat? Kenangan seperti apa yang rindu Ia torehkan di hati murid-murid-Nya?
Apakah itu kenangan kesaktian Dia menyembuhkan orang sakit?
Apakah itu kenangan ketika Dia berkhotbah dengan otoritas tinggi di atas bukit?
Apakah itu kenangan ketika Dia membangkitkan orang mati yang sudah busuk?
Kenangan Tuhan kita adalah roti yang dipecah-pecahkan dan diberikan kepada mereka yang Ia sayangi.
Kenangan Tuhan kita adalah hidup yang diberikan untuk keselamatan orang lain.
Sehingga Anda dan saya luput dari pintu gelap neraka yang memanggil kita, dan bebas dari rantai besi dosa yang membelenggu kita.
Sehingga Anda dan saya boleh memanggil Dia, “Bapa”. Sebab darah-Nya membuat kita yang “jauh” karena dosa, menjadi “dekat” karena kasih karunia.
Roti itu tidak dimakan-Nya sendiri, melainkan dipecah-pecahkan-Nya dan diberikan kepada orang-orang yang Ia sayangi.
Hidup-Nya Ia berikan, agar kita tidak binasa. (Yoh 3:16).
Hidup-Nya Ia berikan, agar kita memberikan hidup kita bagi saudara-saudara kita. (1 Yoh 3:16).
Suatu hari, Anda dan saya akan masuk ke peti yang sama dengan peti mati ayah John Smith. Bagaimana kita ingin dikenang? Maukah kita dikenang seperti Dia? Maukah kita menjadi roti yang terpecah dan diberikan kepada orang-orang yang kita kasihi? Maukah kita memberikan hidup kita agar orang lain diselamatkan dan mengenal Tuhan?
DOA: Aku mau jadi roti yang terpecah seperti Engkau, Tuhan. Aku mau melihat orang lain diselamatkan dan mengenal Bapa lewat hidupku. Amin.
Merk sebuah pen tidaklah tertulis di daftar pustaka, hanya nama penulisnya.
Glory to God
cerita mengenai John Smith, nama dan tokoh hanyalah sebuah ilustrasi dan bukan nama sebenarnya.
gambar diambil dari: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5xe4inwoJKVwY71QnzEAD9VZGSo8aKHliF-nkpSC2HNXz2x8B6_FcwL5egHRvt6C39EhqgpyO7Da4IgOIKKQEAs6jXB_ktxDVvFPOmADlxnMrB4xghD8YYA_CeYUsQGqR3oN3dNrIU1B2/s320/jesus-break-bread.jpg dan http://www.mxlarge.com/storage/Image/RIP%5B1%5D.jpg
No comments:
Post a Comment